PAK KARTO, 'MUJAHID PEMBERONTAK'
Oleh : Taufiq RS. Wirapradja
Tokoh yang satu ini, menurut berbagai pandangan masyarakat bangsa
Indonesia saat ini adalah seorang pemberontak. Citranya sebagai "pemberontak",
terlihat ketika dirinya berusaha menjadikan negara Indonesia menjadi
sebuah Negara Islam. Namun sangatlah aneh, perjuangan yang dilakukannya
itu justru mendapat sambutan yang luar biasa dari daerah-daerah lain di
Indonesia, seperti di Jawa Tengah, di Sulawesi Selatan, di Kalimantan,
dan di Aceh.
Timbul satu pertanyaan, benarkah dia itu penjahat perang
sebagaimana yang dinyatakan oleh pemerintah? Atau mungkin ini sebuah
penilaian yang sangat subjektif dari pemerintah yang ingin berusaha
melanggengkan kekuasaan tiraninya terhadap rakyat Indonesia. Sehingga
diketahui, pemerintah sendiri ketika selesai menjatuhkan vonis hukuman
mati terhadapnya, tidak memberitahukan sedikit pun keterangan kepada
pihak keluarganya di mana pusaranya berada.
Siapa S.M. Kartosoewirjo?
Sekarmadji
Maridjan Kartosoewirjo demikian nama lengkap dari Kartosoewirjo,
dilahirkan 7 Januari 1907 di Cepu, sebuah kota kecil antara Blora dan
Bojonegoro yang menjadi daerah perbatasan Jawa Timur dengan Jawa Tengah.
Kota Cepu ini menjadi tempat di mana budaya Jawa bagian timur dan
bagian tengah bertemu dalam suatu garis budaya yang unik.
Ayahnya, yang bernama Kartosoewirjo,
bekerja sebagai mantri pada kantor yang mengkoordinasikan para penjual
candu di kota kecil Pamotan, dekat Rembang. Pada masa itu mantri candu
sederajat dengan jabatan Sekretaris Distrik. Dalam posisi inilah, ayah
Kartosoewirjo mempunyai kedudukan yang cukup penting sebagai seorang
pribumi saat itu, menimbulkan pengaruh yang sangat besar terhadap
pembentukan garis sejarah anaknya. Kartosoewirjo pun kemudian mengikuti
tali pengaruh ini hingga pada usia remajanya.
Dengan kedudukan
istimewa orang tuanya serta makin mapannya "gerakan pencerahan
Indonesia" ketika itu, Kartosoewirjo dibesarkan dan berkembang. Ia
terasuh di bawah sistem rasional Barat yang mulai dicangkokkan Belanda
di tanah jajahan Hindia. Suasana politis ini juga mewarnai pola asuh
orang tuanya yang berusaha menghidupkan suasana kehidupan keluarga yang
liberal. Masing-masing anggota keluarganya mengembangkan visi dan arah
pemikirannya ke berbagai orientasi. Ia mempunyai seorang kakak perempuan
yang tinggal di Surakarta pada tahun 50-an yang hidup dengan penuh
keguyuban, dan seorang kakak laki-laki yang memimpin Serikat Buruh
Kereta Api pada tahun 20-an, ketika di Indonesia terbentuk berbagai
Serikat Buruh.
Pada tahun 1911,
saat para aktivis ramai-ramai mendirikan organisasi, saat itu
Kartosoewirjo berusia enam tahun dan masuk Sekolah ISTK (Inlandsche
School der Tweede Klasse) atau Sekolah "kelas dua" untuk kaum Bumiputra
di Pamotan. Empat tahun kemudian, ia melanjutkan sekolah ke HIS
(Hollandsch-Inlandsche School) di Rembang. Tahun 1919 ketika orang
tuanya pindah ke Bojonegoro, mereka memasukkan Kartosoewirjo ke sekolah
ELS (Europeesche Lagere School). Bagi seorang putra "pribumi", HIS dan
ELS merupakan sekolah elite. Hanya dengan kecerdasan dan bakat yang
khusus yang dimiliki Kartosoewirjo maka dia bisa masuk sekolah yang
direncanakan sebagai lembaga pendidikan untuk orang Eropa dan kalangan
masyarakat Indo-Eropa.
Semasa remajanya di Bojonegoro inilah
Kartosoewirjo mendapatkan pendidikan agama dari seorang tokoh bernama
Notodihardjo yang menjadi "guru" agamanya. Dia adalah tokoh Islam modern
yang mengikuti Muhammadiyah. Tidak berlebihan ketika itu, Notodihardjo
sendiri kemudian menanamkan banyak aspek kemodernan Islam ke dalam alam
pikir Kartosoewirjo. Pemikiran-pemikirannya sangat mempengaruhi
bagaimana Kartosoewirjo bersikap dalam merespon ajaran-ajaran agama
Islam. Dalam masa-masa yang bisa kita sebut sebagai the formative
age-nya.
Pada tahun 1923,
setelah menamatkan sekolah di ELS, Kartosoewirjo pergi ke Surabaya
melanjutkan studinya pada Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS),
Sekolah Kedokteran Belanda untuk Pribumi. Pada saat kuliah inilah (l926)
ia terlibat dengan banyak aktivitas organisasi pergerakan nasionalisme
Indonesia di Surabaya.
Selama kuliah Kartosoewirjo mulai
berkenalan dengan pemikiran-pemikiran Islam. Ia mulai "mengaji" secara
serius. Saking seriusnya, ia kemudian begitu "terasuki" oleh
shibghatullah sehingga ia kemudian menjadi Islam minded. Semua
aktivitasnya kemudian hanya untuk mempelajari Islam semata dan berbuat
untuk Islam saja. Dia pun kemudian sering meninggalkan aktivitas kuliah
dan menjadi tidak begitu peduli dengan ilmu-ilmu yang diajarkan oleh
sekolah Belanda, tentunya setelah ia mengkaji dan membaca banyak
buku-buku dari berbagai disiplin ilmu, dari kedokteran hingga ilmu-ilmu
sosial dan politik.
Dengan modal ilmu-ilmu pengetahuan yang tidak sedikit itu, ditambah ia juga memasuki organisasi politik Sjarikat Islam di bawah pimpinan Haji Oemar Said Tjokroaminoto.
Pemikiran-pemikiran Tjokroaminoto banyak mempengaruhi sikap, tindakan
dan orientasi Kartosuwirjo. Maka setahun kemudian, dia dikeluarkan dari
sekolah karena dituduh menjadi aktivis politik, dan didapati memiliki
sejumlah buku sosialis dan komunis yang diperoleh dari pamannya yaitu
Marko Kartodikromo, seorang wartawan dan sastrawan yang cukup terkenal
pada zamannya. Sekolah tempat ia menimba ilmu tidak berani menuduhnya
karena "terasuki" ilmu-ilmu Islam, melainkan dituduh "komunis" karena
memang ideologi ini sering dipandang sebagai ideologi yang akan
membahayakan. Padahal ideologi Islamlah yang sangat berbahaya bagi
penguasa yang zhalim. Tidaklah mengherankan, kalau Kartosuwirjo nantinya
tumbuh menjadi pribadi yang memiliki kesadaran politik sekaligus
memiliki integritas keislaman yang tinggi. Ia adalah seorang ulama
besar, bahkan kalau kita baca tulisan-tulisannya, kita pasti akan
mengakuinya sebagai seorang ulama terbesar di Asia Tenggara.
Aktivitas Kartosoewirjo
Semenjak tahun 1923, dia sudah aktif dalam gerakan kepemudaan, di antaranya gerakan pemuda Jong Java. Kemudian pada tahun 1925, ketika anggota-anggota Jong Java yang lebih mengutamakan cita-cita keislamannya mendirikan Jong Islamieten Bond
(JIB). Kartosoewirjo pun pindah ke organisasi ini karena sikap
pemihakannya kepada agamanya. Melalui dua organisasi inilah kemudian
membawa dia menjadi salah satu pelaku sejarah gerakan pemuda yang sangat
terkenal, "Sumpah Pemuda".
Selain bertugas sebagai sekretaris umum PSIHT
(Partij Sjarikat Islam Hindia Timur), Kartosoewirjo pun bekerja sebagai
wartawan di koran harian Fadjar Asia. Semula ia sebagai korektor,
kemudian diangkat menjadi reporter. Pada tahun 1929,
dalam usianya yang relatif muda sekitar 22 tahun, Kartosoewirjo telah
menjadi redaktur harian Fadjar Asia. Dalam kapasitasnya sebagai
redaktur, mulailah dia menerbitkan berbagai artikel yang isinya banyak
sekali kritikan-kritikan, baik kepada penguasa pribumi maupun penjajah
Belanda.
Ketika dalam perjalanan tugasnya itu dia pergi ke
Malangbong. Di sana bertemu dengan pemimpin PSIHT setempat yang terkenal
bernama Ajengan Ardiwisastera. Di sana pulalah dia berkenalan dengan
Siti Dewi Kalsum putri Ajengan Ardiwisastera, yang kemudian dinikahinya
pada bulan April tahun 1929. Perkawinan yang sakinah ini kemudian
dikarunia dua belas anak, tiga yang terakhir lahir di hutan-hutan
belantara Jawa Barat. Begitu banyaknya pengalaman telah menghantarkan
dirinya sebagai aktor intelektual dalam kancah pergerakan nasional.
Pada tahun 1943,
ketika Jepang berkuasa di Indonesia, Kartosoewirjo kembali aktif di
bidang politik, yang sempat terhenti. Dia masuk sebuah organisasi
kesejahteraan dari MIAI (Madjlis Islam 'Alaa Indonesia) di bawah
pimpinan Wondoamiseno, sekaligus menjadi sekretaris dalam Majelis
Baitul-Mal pada organisasi tersebut.
Dalam masa pendudukan Jepang ini, dia pun memfungsikan kembali lembaga Suffah
yang pernah dia bentuk. Namun kali ini lebih banyak memberikan
pendidikan kemiliteran karena saat itu Jepang telah membuka pendidikan
militernya. Kemudian siswa yang menerima latihan kemiliteran di Institut
Suffah itu akhirnya memasuki salah satu organisasi gerilya Islam yang
utama sesudah perang, Hizbullah dan Sabilillah, yang nantinya menjadi inti Tentara Islam Indonesia di Jawa Barat.
Pada bulan Agustus 1945 menjelang berakhirnya kekuasaan Jepang di Indonesia, Kartosoewirjo yang disertai tentara Hizbullah berada di Jakarta. Dia juga telah mengetahui kekalahan Jepang dari sekutu, bahkan
dia mempunyai rencana: kinilah saatnya rakyat Indonesia, khususnya umat
Islam, merebut kemerdekaannya dari tangan penjajah. Sesungguhnya
dia telah memproklamasikan kemerdekaan pada bulan Agustus 1945. Tetapi
proklamasinya ditarik kembali sesudah ada pernyataan kemerdekaan oleh
Soekarno dan Mohammad Hatta. Untuk sementara waktu dia tetap loyal
kepada Republik dan menerima dasar "sekuler"-nya.
Namun
sejak kemerdekaan RI diproklamasikan (17 Agustus 1945), kaum nasionalis
sekulerlah yang memegang tampuk kekuasaan negara dan berusaha
menerapkan prinsip-prinsip kenegaraan modern yang sekuler. Semenjak itu
kalangan nasionalis Islam tersingkir secara sistematis dan hingga akhir
70-an kalangan Islam berada di luar negara. Dari sinilah dimulainya
pertentangan serius antara kalangan Islam dan kaum nasionalis sekuler.
Karena kaum nasionalis sekuler mulai secara efektif memegang kekuasaan
negara, maka pertentangan ini untuk selanjutnya dapat disebut sebagai
pertentangan antara Islam dan negara.
Situasi yang kacau akibat
agresi militer kedua Belanda, apalagi dengan ditandatanganinya
perjanjian Renville antara pemerintah Republik dengan Belanda. Di mana
pada perjanjian tersebut berisi antara lain gencatan senjata dan
pengakuan garis demarkasi van Mook. Sementara pemerintah RI harus mengakui kedaulatan Belanda atas Indonesia,
maka menjadi pil pahit bagi Republik. Tempat-tempat penting yang
strategis bagi pasukannya di daerah-daerah yang dikuasai pasukan Belanda
harus dikosongkan, dan semua pasukan harus ditarik mundur --atau
"kabur" dalam istilah orang-orang DI-- ke Jawa Tengah. Karena
persetujuan ini, Tentara Republik resmi dalam Jawa Barat, Divisi
Siliwangi, mematuhi ketentuan-ketentuannya. Soekarno menyebut "kaburnya"
TNI ini dengan memakai istilah Islam, "hijrah". Dengan sebutan ini dia
menipu jutaan rakyat Muslim. Namun berbeda dengan pasukan gerilyawan Hizbullah dan Sabilillah,
bagian yang cukup besar dari kedua organisasi gerilya Jawa Barat,
menolak untuk mematuhinya. Hizbullah dan Sabilillah lebih tahu apa makna
"hijrah" itu.
Pada tahun 1949 Indonesia mengalami
suatu perubahan politik besar-besaran. Pada saat Jawa Barat mengalami
kekosongan kekuasaan, maka ketika itu terjadilah sebuah proklamasi
Negara Islam di Nusantara, sebuah negeri al-Jumhuriyah Indonesia yang
kelak kemudian dikenal sebagai ad-Daulatul Islamiyah atau Darul Islam
atau Negara Islam Indonesia yang lebih dikenal oleh masyarakat sebagai
DI/TII. DI/TII di dalam sejarah Indonesia sering disebut para pengamat
yang fobi dengan Negara Islam sebagai "Islam muncul dalam wajah yang
tegang." Bahkan, peristiwa ini dimanipulasi sebagai sebuah
"pemberontakan". Kalaupun peristiwa ini disebut sebagai sebuah
"pemberontakan", maka ia bukanlah sebuah pemberontakan biasa. Ia
merupakan sebuah perjuangan suci anti-kezhaliman yang terbesar di dunia
di awal abad ke-20 ini. "Pemberontakan" bersenjata yang sempat menguras
habis logistik angkatan perang Republik Indonesia ini bukanlah
pemberontakan kecil, bukan pula pemberontakan yang bersifat regional,
bukan "pemberontakan" yang muncul karena sakit hati atau kekecewaan
politik lainnya, melainkan karena sebuah "cita-cita", sebuah "mimpi" yang diilhami oleh ajaran-ajaran Islam yang lurus.
Akhirnya,
perjuangan panjang Kartosoewirjo selama 13 tahun pupus setelah
Kartosoewirjo sendiri tertangkap. Pengadilan Mahadper, 16 Agustur l962,
menyatakan bahwa perjuangan suci Kartosoewirjo dalam menegakkan Negara
Islam Indonesia itu adalah sebuah "pemberontakan". Hukuman mati kemudian
diberikan kepada mujahid Kartosoewirjo.
Tentang kisah wafatnya
Kartosoewirjo, ternyata Soekarno dan A.H. Nasution cukup menyadari bahwa
Kartosoewirjo adalah tokoh besar yang bahkan jika wafat pun akan terus
dirindukan umat. Maka mereka dengan segala konspirasinya, didukung Umar
Wirahadikusuma, berusaha menyembunyikan rencana jahat mereka ketika
mengeksekusi Imam Negara Islam ini.
Sekalipun jasad beliau telah
tiada dan tidak diketahui di mana pusaranya berada karena alasan-alasan
tertentu dari pemerintahan Soekarno, tapi jiwa dan perjuangannya akan
tetap hidup sepanjang masa.
Sejarah Indonesia telah mencatat walaupun dimanipulasi dan sekarang bertambah lagi dengan darah mujahid Asy-syahid S.M. Kartosoewirjo. HARI INI KAMI MENGHORMATIMU, BESOK KAMI BERSAMAMU! Insya Allah. Itulah makna dari firman Allah:
"Dan
janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan
Allah (bahwa mereka itu mati); bahkan sebenarnya mereka itu hidup,
tetapi kamu tidak menyadarinya".
(QS. 2:154).
Memahami kembali Sejarah Darul Islam di Indonesia
Mengungkapkan
sejarah perjuangan Darul Islam di Indonesia, sama pentingnya dengan
mengungkapkan kebenaran. Sebab perjalanan sejarah gerakan ini telah
banyak dimanipulasi, bahkan berusaha ditutup-tutupi oleh penguasa. Rezim
orde lama dan kemudian orde baru, mengalami sukses besar dalam
membohongi serta menyesatkan kaum muslimin khususnya, dan bangsa
Indonesia umumnya dalam memahami sejarah masa lalu negeri ini.
Selama
ini kita telah tertipu membaca buku-buku sejarah serta berbagai
publikasi sejarah perjuangan umat Islam diIndonesia.Sukses besar yang
diperoleh dua rezim penguasa di Indonesia dalam mendistorsi sejarah
Darul Islam, adalah munculnya trauma politik di kalangan umat Islam.
Hampir seluruh kaum muslimin di negeri ini, memiliki semangat untuk
memperjuangkan agamanya, bahkan seringkali terjadi hiruk pikuk di ruang
diskusi maupun seminar untuk hal tersebut. Tetapi begitu tiba-tiba
memasuki pembicaraan menyangkut perlunya mendirikan Negara Islam, kita
akan menyaksikan segera setelah itu mereka akan menghindar dan bungkam
seribu bahasa.
Di masa akhir-akhir ini, bahkan semakin banyak tokoh-tokoh Islam yang menampakkan ketakutannya terhadap persoalan Negara Islam.
Mantan Ketua Umum PBNU, K.H. Abdurrahman Wahid misalnya, secara terus terang bahkan mengatakan : "Musuh utama saya adalah Islam kanan, yaitu mereka yang menghendaki Indonesia berdasarkan Islam dan menginginkan berlakunya syari'at Islam".
(Republika, 22 September 1998, hal. 2 kolom 5). Selanjutnya ia katakan : "Kita akan menerapkan sekularisme, tanpa mengatakan hal itu sekularisme".
Salah
satu partai berasas Islam yang lahir di era reformasi ini, malah tidak
bisa menyembunyikan ketakutannya sekalipun dibungkus dalam retorika
melalui slogan gagah: "Kita tidak memerlukan negara Islam. Yang penting
adalah negara yang Islami". Bahkan, dalam suatu pidato politik, presiden
partai tersebut mengatakan: "Bagi kita tidak masalah, apakah pemimpin
itu muslim atau bukan, yang penting dia mampu mengaplikasikan
nilai-nilai universal seperti kejujuran dan keadilan".
Demikian
besar ketakutan kaum muslimin terhadap issu negara Islam, melebihi
ketakutan orang-orang kafir dan sekuler, sampai-sampai mereka tidak
menyadari bahwa segala isme (faham) atau pun Ideologi di dunia ini
berjuang meraih kekuasaan untuk mendirikan negara berdasarkan isme atau
ideologi yang dianutnya.
Selama 32 tahun berkuasanya rezim
Soeharto, sosialisasi tentang Negara Islam Indonesia seakan terhenti.
Oleh karena itu adanya bedah buku atau pun terbitnya buku-buku yang
mengungkapkan manipulasi sejarah ini, merupakan perbuatan luhur dalam
meluruskan distorsi sejarah yang selama bertahun-tahun menjadi bagian
dari khazanah sejarah bangsa.
Sejak berdirinya Republik
Indonesia, rakyat negeri umumnya, telah ditipu oleh penguasa, hingga
saat sekarang. Umat Islam yang menduduki jumlah mayoritas telah
disesatkan pemahaman sejarah perjuangan Islam itu sendiri. Sudah
seharusnya, di masa reformasi ini, umat Islam menyadari bahwa di
Indonesia pernah ada suatu gerakan anak bangsa yang berusaha membangun
supremasi Islam, yaitu Negara Islam Indonesia yang berhasil
diproklamasikan, 7 Agustus 1949, dan berhasil mempertahankan
eksistensinya hingga 13
tahun lamanya (1949-1962). Namun rezim yang
berkuasa telah memanipulasi sejarah tersebut dengan seenaknya, sehingga
umat Islam sendiri tidak mengenal dengan jelas sejarah masa lalunya.
Sekarmaji
Marijan Kartosuwiryo, adalah sebuah nama yang cukup problematis dan
kontroversial di negara Indonesia, dari dulu hingga saat ini. Bahwa dia
dikenal sebagai pemberontak, harus kita luruskan.Bukan saja demi
membetulkan fakta sejarah yang keliru atau sengaja dikelirukan, tetapi
juga supaya kezaliman sejarah tidak terus berlanjut terhadap seorang
tokoh yang seharusnya dihormati.
Semasa Orla berkuasa (1947-1949)
yang merupakan puncaknya perjuangan Negara Islam Indonesia, SM.
Kartosuwiryo memang dikenal sebagai pemberontak. Tetapi fakta yang
sebenarnya adalah, Kartosuwiryo sesungguhnya tokoh penyelamat bagi
bangsa Indonesia, lebih dari apa yang dilakukan oleh Soekarno dan tokoh
tokoh nasionalis lainnya.
Pada waktu Soekarno bersama tentara
Republik pindah ke Yogyakarta sebagai akibat dari perjanjian Renville,
yang menyebutkan bahwa wilayah Indonesia hanya tinggal Yogya dan
sekitamya saja, dan wilayah yang masih tersisa itu pun, dipersengketakan
antara Belanda dan Indonesia, sehingga pada waktu itu nyaris Negara
Kesatuan Republik Indonesia sudah tidak ada lagi. Dan yang ada hanyalah
negara-negara serikat, baik yang sudah terbentuk, atau pun yang masih
dalam proses melengkapi syarat-syarat kenegaraan. Seperti Jawa Barat,
ketika itu dianjurkan oleh Belanda supaya membentuk Negara Pasundan,
namun belum terbentuk sama sekali, karena belum adanya kelengkapan
kenegaraan.
Ketika segala peristiwa yang telah disebutkan di
atas, menggelayuti atmosfir politik Nusantara, pada saat itu Indonesia
dalam keadaan vacuum of power. Pada saat itulah, Soekarno memerintahkan
semua pasukan untuk pindah ke Yogyakarta berdasarkan perjanjian
Renville. Guna memberi legitimasi Islami, dan untuk rnenipu umat Islam
Indonesia dalam memindahkan pasukan ke Yogya, Soekarno telah
memanipuiasi terminologi al-Qur'an dengan menggunakan istilah "Hijrah"
untuk menyebut pindahnya pasukan Republik, sehingga nampak Islami dan
tidak terkesan melarikan diri. Namun S.M. Kartosuwiryo dengan pasukannya
tidak mudah tertipu, dan menolak untuk pindah ke Yogya. Bahkan bersama
pasukannya, ia berusaha mempertahankan wilayah jawa Barat, dan menamakan
Soekarno dan pasukannya sebagai pasukan liar yang kabur dari medan
perang.
Jauh sebelum kemerdekaan, yaitu pada tahun 1930-an,
istilah"hijrah" sudah pernah diperkenalkan, dan dipergunakan.sebagai
metode perjuangan modern yang brillian oleh S.M. Kartosuwiryo,
berdasarkan tafsirnya terhadap sirah Nabawiyah. Ketika itu, pada tahun
1934 telah muncul dua metode perjuangan yaitu cooperatif dan non
cooperatif. Metode non cooperatif, artinya tidak mau masuk ke dalam
parlemen dan bekerja sama dengan pemerintah Belanda namun bersifat
pasif, tidak berusaha menghadapi penguasa yang ada. Metode ini sebenamya
dipengaruhi oleh politik SWADESI, politik Mahatma Gandhi dari India.
Lalu muncullah S.M. Kartosuwiryo dengan metode Hijrah, sebuah metode
yang berusaha membentuk komunitas sendiri, tanpa kerjasama dan aktif,
berusaha untuk melawan kekuatan penjajah.
Akan tetapi, pada waktu
itu, metode ini dikecam keras oleh Agus Salim, karena menganggap S.M.
Kartosuwiryo menerapkan metode hijrah ini di dalam suatu masyarakat yang
belum melek politik. Sehingga ia kemudian berusaha menanamkan politik
dan metode hijrah itu kepada anggota PSII pada khususnya. Dengan harapan
setelah memahami politik, mereka mau menggunakan metode ini, karena
paham politik sangat penting. Namun, Agus Salim menolaknya, karena ia
tidak setuju dengan politik tersebut. Menurutnya rakyat atau anggota
partai hanyalah boleh mengetahui masalah mekanisme organisasi tanpa
mengetahui konstelasi politik yang sedang berlangsung, dan hanya elit
pemimpin saja yang boleh mengetahui. Sedangkan "hijrah" adalah berusaha
menarik diri dari perdebatan politik, kemudian berusaha membentuk
barisan tersendiri dan berusaha dengan kekuatansendiri untuk
mengantisipasi sistem perjuangan yang tidak cukup progresif dan tidak
Islami. Faktor inilah yang menjadi awal perpecahan PSII, yaitu
melahirkan PSII Hijrah yang memakai metode hijrah dan PSII Penyadar yang
dipimpin Agus Salim.
Walaupun metode Hijrah, bagi sebagian tokoh
politik saat itu, terlihat mustahil untuk digunakan sebagai metode
perjuangan, namun ternyata dapat berjalan efektif pada tahun 1949 dengan
terbentuknya Negara Islam Indonesia yang diproklamasikan dibawah
bendera Bismillahirrahmaniirrahim. Sehingga pantaslah, jika kita tidak
memperhatikan rangkaian sejarah sebelumnya secara seksama, memunculkan
anggapan bahwa berdirinya Negara Islam Indonesia berarti adanya negara
di dalam negara, karena Proklamasi RI pada tahun 1945 telah lebih dahulu
dilakukan.
Namun sebenamya jika kita memahami sejarah secara
benar dan adil, maka kedudukan Negara Islam Indonesia dan RI adalah
negara dengan negara. Karena negara RI hanya tinggal wilayah Yogyakarta
waktu itu, sementara Negara Islam Indonesia berada di Jawa Barat dan
mengalami ekspansi (pemekaran) wilayah. Daerah Jawa Tengah, Kalimantan
Selatan, Sulawesi Selatan dan Aceh mendukung berdirinya Negara Islam
Indonesia. Dan dukungan itu bukan hanya berupa pernyataan atau retorika
belaka, tapi ikut bergabung secara revolusional. Barangkakali benar,
bahwa Negara Islam Indonesia adalah satu-satunya gerakan rakyat yang
disambut demikian meriah di beberapa daerah di indonesia.
Melihat
sambutan yang gemilang hangat dari saudara muslim lainnya, maka rezim
Soekarno berusaha untuk menghambat tegaknya Negara Islam Indonesia
bersama A.H. Nasuion, seorang tokoh militer beragama Islam yang
dibanggakan hingga sekarang, tetapi ternyata mempumyai kontribusi yang
negatif dalam perkembangan Negara Islam Indonesia. Dia bersama Soekarno
berusaha menutupi segala hal yang memungkinkan S.M. Kartosuwiryo dan
Negara lslam Indonesia kembali terangkat dalam masyarakat, seperti
penyembunyian tempat eksekusi dan makam mujahid Islam tersebut.
Nampaklah
sekarang bahwa sebenarnya penguasa Orla dan Orba, telah melakukan
kejahatan politik dan sejarah sekaligus, yang dosanya sangat besar yang
rasanya sulit untuk dimaafkan. Mungkin bisa diumpamakan, hampir sama
dengan dosa syirik dalam pengertian agama, yang merupakan dosa terbesar
dalam Islam. Karena prilaku politik yang mereka pertontonkan, telah
menyesatkan masyarakat dalam memahami sejarah perjuangan Islam di
Indonesia dengan sebenarnya. Berbagai rekayasa politik untuk
memanipulasi sejarah telah dilakukan sampai hal yang sekecil-kecilnya
mengenai perjuangan serta pribadi S.M. Kartosuwiryo. Seperti pengubahan
data keluarganya, tanggal dan tahun lahirnya. Semua itu ditujukan agar
SMK dan Negara Islam Indonesia jauh dari ingatan masyarakat.
Sekalipun
demikian, S.M. Kartosuwiryo tidak berusaha membalas tindakan dzalim
pemerintah RI. Pernah suatu ketika Mahkamah Agung (Mahadper) menawarkan
untuk mengajukan permohonan grasi (pengampunan) kepada presiden
Soekarno, supaya hukuman mati yang telah dijatuhkan kepadanya
dibatalkan, namun dengan sikap ksatria ia menjawab," Saya tidak akan
pernah meminta ampun kepada manusia yang bernama Soekarno".
Kenyataan
ini pun telah dimanipulasi. Menurut Holk H. Dengel dalam bukunya
berbahasa Jerman, dan dalam terjemahan Indonesia berjudul: "Darul Islam
dan Kartosuwiryo, Angan-angan yang gagal", mengakui bahwa telah terjadi
manipulasi data sejarah berkenaan dengan sikap Kartosuwiryo menghadapi
tawaran grasi tersebut. Tokoh sekaliber Kartosuwiryo tidak mungkin minta
maaf, namun ketika kita baca dalam terjemahannya yang diterbitkan oleh
Sinar Harapan telah diubah sebaliknya, bahwa Kartosuwiryo meminta ampun
kepada Soekamo, dan kita tahu Sinar Harapan adalah bagian dari kekuatan
Kristen yang bahu -membahu dengan penguasa sekuler dalam mendistorsi
sejarah Islam.
Dalam majalah Tempo 1983, pernah dimuat kisah seorang petugas eksekusi S.M. Kartosuwiryo,
yang menggambarkan sikap ketidak pedulian Kartosuwiryo atas keputusan
yang ditetapkan Mahadper RI kepadanya. Ia mengatakan bahwa 3 hari
sebelum hukuman mati dilaksanakan, Kartosuwiryo tertidur nyenyak,
padahal petugas eksekusinya tidak bisa tidur sejak 3 hari sebelum
pelaksanaan hukuman mati. Dari sinilah akhimya diketahui kemudian dimana
pusara Kartosuwiryo berada, yaitu di pulau Seribu.
Usaha untuk
mengungkapkan manipulasi sejarah adalah sangat berat. Satu di antara
fakta sejarah yang dimanipulasi, adalah untuk mengungkap kebenaran
tuduhan teks proklamasi dan UUD Negara Islam Indonesia adalah jiplakan
dari proklamasi Soekarno-Hatta. Yang sebenamya terjadi justru
kebalikannya.
Ketika Hiroshima dan Nagasaki di bom (6 - 9 Mei
1945) S.M. Kartosuwiryo sudah tahu melalui berita radio, sehingga ia
berusaha memanfaatkan peluang ini untuk sosialisasi proklamasi Negara
Islam Indonesia. Ia datang ke Jakarta bersama pasukan Hisbullah dan
mengumpulkan massa guna mensosialisasikan kemungkinan berdirinya Negara
Islam Indonesia, dan rancangan konsep proklamasi Negara Islam lndonesia
kepada masyarakat. Sebagai seorang tokoh nasional yang pernah ditawari
sebagai menteri pertahanan muda yang kemudian ditolaknya, melakukan hal
ini tentu bukan perkara sulit. Salah satu di antara massa yang hadir
dalam pertemuan tersebut adalah Sukarni dan Ahmad Subarjo.
Mengetahui
banyaknya dukungan terhadap sosialisasi ini, mereka menculik
Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok agar mempercepat proklamasi RI sehingga
Negara Islam Indonesia tidak jadi tegak. Bahkan dalam bukunya, Holk H.
Dengel menyebutkan tanggal 14 Agustus 1945 Negara Islam Indonesia telah
di proklamirkan, tetapi yang sebenarnya baru sosialisasi saja. Ketika di
Rengasdengklok Soekamo menanyakan kepada Ahmad Soebardjo, sebagaimana
ditulis Mr. Ahmad Soebardjo dalam bukunya "Lahirnya Republik Indonesia".
Pertanyaan Soekarno itu adalah: "Masih ingatkah saudara, teks dari bab Pembukaan Undang-Undang Dasar kita ?"
"Ya saya ingat, saya menjawab,"Tetapi tidak lengkap seluruhnya".
"Tidak mengapa," Soekarno bilang, "Kita hanya memerlukan kalimat-kalimat yang menyangkut Proklamasi dan bukan seluruh teksnya".
Soekarno
kemudian mengambil secarik kertas dan menuliskan sesuai dengan apa yang
saya ucapkan sebagai berikut : "Kami rakyat Indonesia dengan ini
menyatakan kemerdekaan".
Jika kesaksian Ahmad Soebardjo ini
benar, jelas tidak masuk akal, karena kita tahu bahwa UUD 1945 baru
disahkan dan disetujui tanggal 18 Agustus 1945 setelah proklamasi.
Sehingga pertanyaan yang benar semestinya adalah, "Masih ingatkah
saudara akan sosialisasi proklamasi Negara Islam Indonesia?" Maka
wajarlah jika naskah Proklamasi RI yang asli terdapat banyak coretan.
Jelaslah bahwa ternyata Soekarno-Hatta yang menjiplak konsep naskah
proklamasi Negara Islam Indonesia, dan bukan sebaliknya. Memang sedikit
sejarawan yang mengetahui mengenai kebenaran sejarah ini. Di antara yang
sedikit itu adalah Ahmad Mansyur Suryanegara, beliau pernah mengatakan
bahwa S.M. Kartosuwiryo pernah datang ke Jakarta pada awal Agustus 1945
bersama pasukan Hizbullah dan Sabilillah.
"Sebenarnya, sebelum
hari-hari menjelang proklamasi RI tanggal 17 Agustus 1945, Kartosuwiryo
telah lebih dahulu menebar aroma deklarasi kemerdekaan Islam, ketika
kedatangannya pada awal bulan Agustus setelah mengetahui bahwa
perseteruan antara Jepang dan Amerika memuncak dan menjadi bumerang bagi
Jepang. Ia datang ke Jakarta bersama dengan beberapa orang pasukan
laskar Hisbullah, dan segera bertemu dengan beberapa elit pergerakan
atau kaum nasionalis untuk memperbincangkan peluang yang mesti diambil
guna mengakhiri dan sekaligus mengubah determinisme sejarah rakyat
Indonesia. Untuk memahami mengapa pada tanggal 16 Agustus pagi Hatta dan
Soekamo tidak dapat
ditemukan di Jakarta, kiranya Historical enquiry
berikut ini perlu diajukan : Mengapa Soekarno dan Hatta mesti
menghindar begitu jauh ke Rengasdengklok padahal Jepang memang sangat
menyetujui persiapan kemerdekaan Indonesia? Mengapa ketika Soebardjo
ditanya Soekarno, apakah kamu ingat pembukaan Piagam Jakarta ? Mengapa
jawaban yang diberikan dimulai dengan kami bangsa Indonesia ...?
Bukankah itu sesungguhnya adalah rancangan Proklamasi yang sudah
dipersiapkan Kartosuwiryo pada tanggal 13 dan 14 Agustus 1945 kepada
mereka ? Pada malam harinya mereka telah dibawa oleh para pemimpin
pemuda, yaitu Soekarni dan Ahmad Soebardjo, ke garnisun PETA di
Rengasdengklok, sebuah kota kecil yang terletak di sebelah barat kota
Karawang, dengan dalih melindungi mereka bilamana meletus suatu
pemberontakan PETA dan HEIHO. Ternyata tidak terjadi suatu pemberontakan
pun, sehingga Soekamo dan Hatta segera menyadari bahwa kejadian ini
merupakan suatu usaha memaksa mereka supaya menyatakan kemerdekaan di
luar rencana pihak Jepang, tujuan ini mereka tolak. Laksamana Maida
mengirim kabar bahwa jika mereka dikembalikan dengan selamat maka dia
dapat mengatur agar pihak Jepang tidak menghiraukan bilamana kemerdekaan
dicanangkan. Mereka mempersiapkan naskah proklamasi hanya berdasarkan
ingatan tentang konsep proklamasi Islam yang dipersiapkan SM.
Kartosuwiryo pada awal bulan Agustus 1945. Maka, seingat Soekarni dan
Ahmad Soebardjo, naskah itu didasarkan pada bayang-bayang konsep
proklamasi dari S.M. Kartosuwiryo, bukan pada konsep pembukaan UUD 1945
yang dibuat oleh BPUPKI atau PPKI."
(Al Chaidar, Pengantar Pemikiran
Politik Proklamator Negara Isalam Indonesia S.M. Kartosoewirjo, hal. 65,
Pen. Darul Falah, Jakarta).
Demikianlah, berbagai manipulasi
sejarah yang ditimpakan kepada Darul Islam dan pemimpinnya, sedikit demi
sedikit mulai tersibak, sehingga dengan ini diharapkan dapat membuka
cakrawala berfikir dan membangun kesadaran historis para pembaca. Lebih
dari itu, upaya mengungkap manipulasi sejarah Negara Islam Indonesia
yang dilakukan semasa orla dan orba oleh para sejarawan merupakan suatu
keberanian yang patut didukung, supaya pembaca mendapatkan informasi
yang berimbang dari apa yang selama ini berkembang luas.
Kami
bersyukur kepada Allah Malikurrahman atas antusiame generasi muda Islam
dalam menerima informasi yang benar dan obyektif mengenai sejarah
perjuangan menegakkan Negara Islam dan berlakunya syari'at Islam di
negeri ini. Semoga Allah memberi hidayah dan kekuatan kepada kita semua,
sehingga perjuangan menjadikan hukum Allah sebagai satu-satunya sumber
dari segala sumber hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara segera
terwujud di Indonesia yang, menurut sensus adalah negara yang
penduduknya mayoritas beragama Islam. Amin, Ya Arhamar Rahimin !
Negara
Islam Indonesia telah diproklamirkan oleh As-Syahid Sekarmadji Maridjan
Kartosoewirjo pada tanggal 7 Agustus 1949. Dimana bunyi proklamasi
Negara Islam Indonesia adalah sebagai berikut :
PROKLAMASI
Berdirinya
Negara Islam Indonesia
Bismillahirrahmanirrahim
Dengan Nama Allah Yang Maha Pemurah, Maha Pengasih
Ashhadu alla ilaha illallah, wa ashhadu anna Muhammadarrasulullah
Kami, Ummat Islam Bangsa Indonesia
MENYATAKAN :
BERDIRINYA
NEGARA ISLAM INDONESIA
Maka Hukum yang berlaku atas Negara Islam Indonesia itu, ialah : HUKUM ISLAM.
Allahu Akbar ! Allahu Akbar ! Allahu Akbar !
Atas nama Ummat Islam Bangsa Indonesia
IMAM NEGARA ISLAM INDONESIA
ttd
S.M. KARTOSOEWIRJO
Madinah - Indonesia,
12 Syawal 1368 / 7 Agustus 1949.
Tanggal 7 agustus 1949
adalah bertepatan dengan Bung Hatta pergi ke Belanda untuk mengadakan
perundingan Meja Bundar, yang berakhir dengan kekecewaan. Dimana hasil
perundingan tersebut adalah Irian Barat tidak dimasukkan kedalam
penyerahan kedaulatan Indonesia, lapangan ekonomi masih dipegang oleh
kapitalis barat.
Negara Islam Indonesia diproklamirkan di daerah
yang dikuasai oleh Tentara Belanda, yaitu daerah Jawa Barat yang
ditinggalkan oleh TNI (Tentara Nasional Indonesia) ke Jogya. Sebab
daerah de-facto R.I. pada saat itu hanya terdiri dari Yogyakarta dan
kurang lebih 7 Kabupaten saja ( menurut fakta-fakta
perundingan/kompromis dengan Kerajaan Belanda; perjanjian Linggarjati
tahun 1947 hasilnya de-facto R.I. tinggal pulau Jawa dan Madura, sedang
perjanjian Renville pada tahun 1948, de-facto R.I. adalah hanya terdiri
dari Yogyakarta). Seluruh kepulauan Indonesia termasuk Jawa Barat
kesemuanya masih dikuasai oleh Kerajaan Belanda. Jadi tidaklah benar
kalau ada yang mengatakan bahwa Negara Islam Indonesia didirikan dan
diproklamirkan didalam negara Republik Indonesia. Negara Islam Indonesia
didirikan di daerah yang masih dikuasai oleh Kerajaan Belanda.
Negara
Islam Indonesia dengan organisasinya Darul Islam dan tentaranya yang
dikenal dengan nama Tentara Islam Indonesia dihantam habis-habisan oleh
Regim Soekarno yang didukung oleh partai komunis Indonesia(PKI).
Sedangkan Masyumi (Majelis syura muslimin Indonesia) tidak ikut menghantam, hanya tidak mendukung, walaupun organisasi Darul Islam yang pada mulanya bernama Majlis Islam adalah organisasi dibawah Masyumi
yang kemudian memisahkan diri. Seorang tokoh besar dari Masyumi
almarhum M Isa Anshary pada tahun 1951 menyatakan bahwa "Tidak ada
seorang muslimpun, bangsa apa dan dimana juga dia berada yang tidak
bercita-cita Darul Islam. Hanya orang yang sudah bejad moral, iman dan
Islam-nya, yang tidak menyetujui berdirinya Negara Islam Indonesia.
Hanya jalan dan cara memperjuangkan idiologi itu terdapat persimpangan
dan perbedaan. Jalan bersimpang jauh. Yang satu berjuang dalam
batas-batas hukum, secara legal dan parlementer, itulah Masyumi. Yang
lain berjuang dengan alat senjata, mendirikan negara dalam negara,
itulah Darul Islam" (majalah Hikmah, 1951).
Ketika Masyumi
memegang pemerintahan, M Natsir mengirimkan surat kepada SM
Kartosoewirjo untuk mengajak beliau dan kawan-kawan yang ada di gunung
untuk kembali berjuang dalam batas-batas hukum negara yang ada. Namun M
Natsir mendapat jawaban dari SM Kartosoewirjo "Barangkali saudara belum
menerima proklamasi kami"(majalah Hikmah, 1951).
Setelah Imam
Negara Islam Indonesia S.M. Kartosoewirjo tertangkap dan dijatuhi
hukuman mati pada tahun 1962 regim Soekarno dengan dibantu oleh PKI yang
diteruskan oleh regim Soeharto dengan ABRI-nya telah membungkam Negara
Islam Indonesia sampai sekarang dengan pola yang sama. Pola tersebut
adalah dengan cara menugaskan bawahannya untuk melakukan pengrusakan,
setelah melakukan pengrusakkan bawahan tersebut "bernyanyi" bahwa dia
adalah anggota kelompok Islam tertentu. Atau melakukan pengrusakan
dengan menggunakan atribut Islam. Menurut salah seorang kapten yang kini
masih hidup, dan mungkin saksi hidup yang lainnya pun masih banyak,
bahwa ada perbedaan antara DI pengrusak dan DI Kartosuwiryo yakni
attribut yang dipergunakan oleh DI pengrusak (buatan Sukarno) berwarna
merah sedangkan DI Kartosuwiryo adalah hijau. Sebenarnya Negara Islam
Indonesia masih ada dan tetap ada, walaupun sebagian anggota-anggota
Darul Islam sudah pada meninggal, namun ide Negara Islam Indonesia masih
tetap bersinar di muka bumi Indonesia